Tak pernah terlintas dalam benak Mochammad Mujahid bahwa suatu hari dirinya akan menjadi seorang penghafal Al-Qur’an, bahkan hingga mendapat kesempatan belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Lahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara, remaja berdarah Bugis ini awalnya sama sekali tidak memiliki niat untuk menghafal Al-Qur’an. Ia bahkan tidak tahu bahwa anak-anak seusianya bisa menghafal 30 juz.
“Dulu saya memang ingin mondok, tapi bukan di pesantren tahfidz,” ujarnya mengenang masa kecil.
Namun, keputusan orang tuanya mengubah arah hidupnya. Usai lulus SD, Mujahid dikirim ke Pulau Jawa dan didaftarkan ke Pondok Pesantren Tahfidz Wahdah Islamiyah Cibinong, Bogor—sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Saya kira pondok biasa. Ternyata pondok tahfidz. Saya kaget dan bahkan sempat minta pulang,” kisah Mujahid.
Bagi Mujahid saat itu, menghafal Al-Qur’an terdengar sangat sulit, bahkan mustahil. Tapi, dorongan kuat dari kedua orang tua serta motivasi yang tak henti dari kakaknya, perlahan membuka hatinya.
“Akhirnya, mau tidak mau saya mulai menghafal.”
Langkah pertamanya tentu tidak mudah. Ia hanya menguasai beberapa surat pendek dari Juz 30. Ketika mulai menghafal secara intensif, ia sering merasa kewalahan. Bahkan, ia sempat menangis saat menghafal Surah Al-Fajr karena merasa sangat kesulitan.
Momen itu tidak luput dari perhatian seorang kakak kelas yang kemudian memberikan motivasi berharga:
“Kalau kita sudah hafal 2–3 juz, nanti akan terasa lebih mudah. Bahkan bisa hafal satu juz dalam sehari.”
Pesan sederhana itu menjadi titik balik. Semangat Mujahid perlahan tumbuh. Ia mulai menghafal dengan lebih serius dan konsisten. Hasilnya, ia berhasil menuntaskan hafalan 30 juz Al-Qur’an, bahkan disertai dengan hafalan ratusan hadits.
Kini, Mujahid tengah melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar, Kairo, bergabung dengan beberapa alumni Pesantren Tahfidz Wahdah lainnya yang juga menuntut ilmu di negeri para ulama. Ia menyadari bahwa menyelesaikan hafalan hanyalah awal dari perjalanan panjang menjaga dan mengamalkan isi Al-Qur’an.
“Cita-cita saya adalah membangun ma’had atau pondok pesantren tahfidz di kampung halaman saya, Pontianak, Kalimantan Barat,” ujarnya penuh harap.
Pesan dari Kairo: Jadilah Pembuka Kebaikan
Dalam sebuah pesan yang disampaikan langsung dari Mesir, Mujahid menyampaikan refleksi dan nasihat yang menyentuh:
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya Muhammad Mujahid, salah satu alumni SMP dan SMA Al-Qur’an Wahdah Islamiyah, dan saat ini sedang melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Banyak pelajaran berharga yang saya dapat selama mondok, dari ilmu Al-Qur’an, hadits, hingga pelajaran umum seperti IPA, matematika, dan bahasa Inggris.
Kami juga dibiasakan untuk mengamalkan sunnah Nabi ﷺ, seperti puasa sunnah, shalat tahajud, dhuha, dan ibadah lainnya. Semua ini membentuk karakter santri yang kuat dan bertaqwa.”
Ia pun menutup pesannya dengan nasihat untuk adik-adik kelas dan para pejuang tahfidz:
“Untuk teman-teman yang sedang berjuang di pondok atau dalam proses menghafal, jadilah pribadi yang menolong dan menguatkan dalam kebaikan. Jadilah pembuka pintu-pintu kebaikan bagi sesama, dan penjaga dari keburukan. Nasihati dengan hati, dan dampingi dengan ikhlas.”
Mochammad Mujahid adalah bukti nyata bahwa perubahan besar bisa terjadi dengan motivasi, lingkungan, dan bimbingan yang tepat. Dari seorang remaja yang enggan menghafal, kini ia menjadi penghafal Al-Qur’an, mahasiswa di Universitas Al-Azhar, dan calon pendidik Qur’ani yang bercita-cita menyebarkan cahaya ilmu di tanah kelahirannya.
Ikuti kisah inspiratif lainnya dari alumni-alumni Pesantren Tahfidz Wahdah Islamiyah di rubrik Inspirasi Alumni.
Komentar