Ketika pandemi menghentikan hampir seluruh aktivitas dunia, Rusli S. Modjo justru terus melangkah mengejar mimpi: menjadi hafidz Al-Qur’an.
Lahir di Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat pada 23 Januari 2002, Rusli adalah anak bungsu dari dua bersaudara yang tumbuh dalam suasana kesederhanaan dan kemandirian. Masa kecilnya ia habiskan di Sumbawa hingga menyelesaikan jenjang SMP.
Sejak kelas VIII, Rusli sudah bercita-cita untuk mandiri dan melanjutkan pendidikan ke pesantren. Ketertarikannya pada dunia tahfidz bermula dari kekagumannya kepada mereka yang mampu menghafal Al-Qur’an, meski hanya beberapa juz.
“Saya mengagumi mereka yang hafal 3–5 juz. Waktu itu saya tidak pernah membayangkan bisa menghafal lebih dari itu, apalagi khatam 30 juz,” kenangnya.
Memilih Jauh untuk Belajar Mandiri
Menjelang kelulusan SMP, Rusli mendapat tiga tawaran tempat pendidikan dari keluarganya: sebuah pesantren tua di Lombok, sekolah umum di Bima, dan pondok tahfidz di Bogor, yaitu SMA Al-Qur’an Wahdah Islamiyah. Pilihannya jatuh pada Bogor. Bukan karena nama besar pondoknya, tetapi karena tekad untuk hidup lebih mandiri dan jauh dari kemanjaan.
“Dulu saya tidak suka terlalu dimanja. Saya memilih sekolah di tempat jauh supaya belajar hidup mandiri,” ujarnya.
Ia tiba di pondok terlambat tiga hari dari jadwal masuk dan tidak mengikuti masa orientasi. Awalnya biasa saja, namun beberapa hari kemudian muncul rasa sepi yang sulit dijelaskan. Namun perlahan, ia mulai menyesuaikan diri dan menyadari bahwa pondok tempatnya belajar adalah pesantren tahfidz dengan 80% aktivitas berfokus pada menghafal Al-Qur’an.
Tahun Pertama: Beratnya Menemukan Ritme
Semester awal menjadi masa terberat. Hafalan barunya hanya setengah halaman, bahkan kadang tidak bisa menyetor sama sekali. Ia belum menemukan metode menghafal yang cocok, dan kemampuan bahasa Arabnya masih minim.
“Yang paling memusingkan waktu itu adalah setoran hafalan baru. Saya belum tahu cara menghafal yang cocok untuk saya,” katanya.
Meski penuh tantangan, ia tetap berusaha dan mampu menghafalkan 5 juz selama tahun pertama. Sebuah capaian yang ia syukuri meski belum sesuai target.
Membagi Waktu di Tengah Amanah Organisasi
Di kelas XI, Rusli dipercaya menjadi Ketua Divisi Kebersihan dan Kesehatan OSWI (Organisasi Santri Wahdah Islamiyah). Ia mulai bisa menyetor 1 halaman per hari, namun beban organisasi terkadang mengganggu konsentrasi hafalannya.
“Kadang pikiran saya terbagi, waktu tidur siang pun berkurang. Tapi saya tidak menyalahkan keadaan.”
Hingga akhir kelas XI, total hafalannya baru mencapai 11 juz. Namun Rusli terus meneguhkan niat, diiringi nasihat ustaz dan petuah Imam Syafi’i yang menyemangatinya untuk tidak menyerah:
“Biarkan hari-hari berjalan sebagaimana mestinya, jangan risau oleh gelapnya malam, karena semua yang ada di dunia ini tak ada yang abadi.”
Titik Balik: Menyusun Target Baru dan Khatam di Tengah Pandemi
Masuk kelas XII, Rusli menyadari waktunya tak banyak. Ia mulai menyusun jadwal hafalan lebih teratur—walau sempat beberapa kali diganti karena kurangnya konsistensi.Akhir 2019, hafalannya sudah mencapai 20 juz. Ia memperbarui target dan bertekad menuntaskan hafalan sebelum kelulusan. Ketika pandemi Covid-19 melanda dan pembelajaran daring diberlakukan, Rusli memilih tetap tinggal di pondok agar bisa fokus menyelesaikan hafalan.
“Saya tetap di pondok selama masa PSBB dan Ramadhan. Alhamdulillah, setelah Ujian Nasional selesai dan sambil menunggu pengumuman kelulusan, saya berhasil menyelesaikan 30 juz,” ujarnya penuh rasa syukur.
Melanjutkan Perjalanan Ilmu di STIBA Ar-Rayah Sukabumi
Setelah lulus, Rusli tak berhenti pada capaian hafalannya. Ia kini melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Bahasa Arab (STIBA) Ar-Rayah Sukabumi, memperdalam bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar’i sebagai bekal menjadi pribadi Qur’ani yang lebih utuh.
Kisah Rusli adalah cermin bahwa setiap tantangan bisa menjadi jalan menuju keberhasilan—jika disertai tekad, kesabaran, dan keikhlasan. Dunia mungkin sempat terhenti oleh pandemi, tapi mimpi Rusli untuk menjadi hafidz dan pribadi Qur’ani justru terus bergerak maju. Semoga kisah ini menjadi inspirasi bagi siapa pun yang tengah berjuang dalam jalan panjang menuju cahaya Al-Qur’an.
Komentar