Setiap kali bulan Dzulhijjah tiba, terutama saat kita memperingati Idul Adha, sejarah kembali membuka pintunya bagi kita. Momen ini seolah mengajak kita merenungi kembali kisah agung seorang manusia pilihan yang telah menciptakan arus besar dalam sejarah kemanusiaan dan membentuk arah hidup umat Islam sepanjang masa. Sosok itu adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, seorang Rasul dari golongan Ulul Azmi yang memiliki keteguhan luar biasa.
Dua Keutamaan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam
Ada dua hal istimewa yang Allah sebutkan tentang Nabi Ibrahim:
Disebut sebagai “Ummat” oleh Allah.
Dalam QS. al-Nahl: 120, Allah menyebut Nabi Ibrahim sebagai seorang ummat, yakni pemimpin atau sosok yang menjadi panutan dalam ketaatan, keikhlasan, dan keberpihakan pada kebenaran.
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang ummat (imam) yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan senantiasa berpegang kepada kebenaran. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.”
Diangkat sebagai Qudwah (teladan).
Dalam Al-Qur’an, hanya dua nabi yang secara eksplisit disebut sebagai teladan bagi umat, yaitu Nabi Muhammad ﷺ (QS. al-Ahzab: 21) dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam (QS. al-Mumtahanah: 4).
Karena itulah, kehidupan Nabi Ibrahim sangat layak menjadi sumber pelajaran dan keteladanan, terutama bagi generasi muda Muslim. Tulisan ini akan menguraikan empat nilai utama yang dapat kita teladani dari kehidupan beliau.
1. Ketundukan Total kepada Perintah Allah
Salah satu bentuk kepatuhan total Nabi Ibrahim terlihat ketika Allah memerintahkannya untuk membawa istri dan anaknya ke sebuah lembah tandus tak berpenghuni—yaitu Makkah. Tanpa ragu, beliau melaksanakan perintah itu. Tak hanya itu, setelah menempuh perjalanan jauh, Ibrahim pun diperintahkan meninggalkan keluarganya di tempat tersebut.
Ketaatan ini bukan hanya milik Nabi Ibrahim. Ia juga melekat pada istrinya, Hajar, dan anaknya, Ismail ‘alaihissalam. Ketiganya menunjukkan sikap tunduk total pada perintah Allah.
Inilah hakikat Islam: ketundukan sepenuhnya kepada Allah. Seorang Muslim yang sejati akan selalu berusaha menjalankan perintah Allah, apa pun bentuk dan konsekuensinya. Ketika perintah Allah datang, yang harus muncul dalam benak kita adalah: “Bagaimana saya bisa melaksanakannya?” Bukan mencari-cari alasan untuk menghindarinya.
2. Konsistensi dalam Memegang Prinsip dan Aqidah
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah contoh nyata tentang konsistensi dalam memegang prinsip, bahkan ketika itu berarti harus menghadapi tantangan besar. Sejak muda, beliau sudah berani melawan budaya syirik yang berkembang di masyarakat. Bahkan, ketika menghancurkan berhala-berhala kaumnya, beliau masih sangat muda.
“Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini, namanya Ibrahim.” (QS. al-Anbiya: 60)
Ibrahim tidak hanya menghadapi tekanan dari luar, tetapi juga dari dalam keluarganya. Ayahnya sendiri, Azar, adalah pembuat berhala. Ketika Ibrahim mengajak ayahnya kepada tauhid, sang ayah justru mengancam akan merajamnya. (QS. Maryam: 46)
Namun ujian terberat mungkin datang ketika ia diperintahkan untuk menyembelih anak yang telah lama dinantikannya, Ismail ‘alaihissalam. Ini bukan sekadar perintah biasa, tetapi ujian terhadap cinta, komitmen, dan prinsip.
Konsistensi Ibrahim dari muda hingga tua memberi pelajaran penting: jangan sampai prinsip hidup kita luntur saat kedudukan dan kenyamanan datang. Jangan sampai mereka yang dulu mengkritik sistem rusak, justru menjadi bagian dari kerusakan itu ketika berada di dalamnya.
Banyak mantan aktivis mahasiswa yang dulunya vokal menentang korupsi dan ketidakadilan, tapi saat memiliki jabatan, justru larut dalam perilaku yang sama. Nabi ﷺ bersabda:
“Janganlah kamu menjadi imma’ah (orang yang ikut-ikutan)… tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip.” (HR. Tirmidzi).
3. Peka terhadap Problem Masyarakat
Nabi Ibrahim adalah pribadi yang sangat peka terhadap kondisi ummatnya. Ketika masyarakatnya larut dalam penyimpangan aqidah seperti menyembah bintang dan berhala, beliau tidak diam. Beliau berdakwah, berdialog, dan bahkan berani bertindak langsung untuk mengubah keadaan.
Ibrahim menggunakan berbagai pendekatan — dari hikmah dan dialog, hingga tindakan langsung seperti menghancurkan berhala yang menjadi pusat kemusyrikan.
Hari ini, umat Islam menghadapi tantangan aqidah yang mirip, walaupun dalam bentuk yang berbeda. Liberalisasi pemikiran, upaya dekonstruksi syari’ah, bahkan penghinaan terhadap wahyu dikemas dengan istilah “pencerahan” dan “pembaruan”.
Pemuda Muslim harus peka terhadap tantangan ini. Jangan sampai abai, apalagi ikut larut. Seperti Nabi Ibrahim, kita harus berdiri di garis depan untuk menjaga kemurnian aqidah dan menghadapi penyimpangan yang mengatasnamakan kebebasan berpikir.
4. Bertindak Cerdas dan Strategis
Kritik sosial Nabi Ibrahim tidak dilakukan secara membabi buta. Beliau menggabungkan ketegasan dengan kecerdikan. Saat menghancurkan berhala, beliau menyisakan satu berhala terbesar dan meletakkan kapak di lehernya. Tujuannya agar kaumnya merenung dan menggunakan akalnya: “Agar mereka kembali kepada patung besar itu.”
Strategi ini membuka kesadaran kolektif kaumnya bahwa berhala-berhala itu tak mampu berbuat apa-apa, bahkan untuk membela diri sendiri. Tindakan ini membuktaikan bahwa dakwah tidak hanya butuh keberanian, tapi juga kecerdasan dalam menyampaikan pesan.
Penutup: Teladan Sepanjang Zaman
Empat hal yang diteladani dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam — ketundukan total kepada Allah, konsistensi prinsip, kepekaan terhadap masalah umat, dan kecerdasan dalam bertindak — adalah pilar penting dalam membangun karakter seorang Muslim sejati.
Mari jadikan momen Idul Adha bukan hanya ritual penyembelihan hewan, tetapi juga momen untuk merenung dan mengambil pelajaran dari kehidupan kekasih Allah ini.
Semoga kita bisa menjadi generasi yang kokoh dalam prinsip, peka terhadap umat, dan cerdas dalam menyampaikan kebenaran — sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Wallahu waliyyut taufiq.
Komentar